Senin, 11 Maret 2019


LIRIH

“Please, I don’t want to talk him about! I need my privacy, Har!”
            Rena jelas tak ingin membicarakan tentang Ryan. Tapi penolakannya itu justru membuatku bingung. Apa yang membuat Rena menolak? Ryan, secara fisik ia gagah, anak tunggal dari keluarga yang cukup berada, seorang hacker yang handal, dan satu lagi keistimewaannya, ia lelaki yang taat. Lima waktunya tidak bolong hanya saja wajah angkuhnya membuat ia tak terlalu mudah untuk bergaul, bahasa tubuhnya seperti sebuah intimidasi meski begitu banyak perempuan yang cari perhatian padanya.
Lalu Rena? Di kampus ia termasuk mahasiswi cerdas, dan santun dengan jilbab rapat yang menutupi tubuhnya hingga ke dada. Meskipun di kelas secara fisik masih banyak yang lebih unggul darinya namun wibawa dari wajah senyumnya membuat teman-teman senang berada di dekatnya. Sebagai sahabat baik, aku setuju jika mereka bisa bersama karena keramahan Rena bisa mengimbangi kekakuan Ryan dalan bergaul. Menurutku itu penting.
            “Har, I don’t need a boyfriend now but a soul mate, a true friend who leads me in my religion and my life.”
            “Don’t you think that he is a good boy? He is nice one.”
            “Nice for them.”
Jawab Rena sambil menganggukkan kepalanya pada satu arah.  Aku mengikuti pandangan Rena. Beberapa mahasiswi sedang mendekati Ryan di aula kampus tak jauh dari tempat kami duduk. Siang ini, kami sedang menunggu dosen mata kuliah Integrated Language Skills yang sudah telat satu jam. Tak ada mahasiswa berani meninggalkan kelas karena Mrs. Arma sering muncul sesaat sebelum jam kuliahnya habis. Kebiasaan yang jadi andalan dosen-dosen dengan jam terbang yang cukup padat dan itu sangat merugikan, meskipun sebagian teman merasa senang tiap kali ada mata kuliah yang kosong.
            “Rena, aku nggak ngerti sama kamu. Banyak yang menyukai Ryan karena dia…..”
            “Gagah, tajir, pintar, dan populer!” Rena memotong kalimatku.
            “Har, Ryan memang punya segalanya, punya semua yang disukai wanita. Aku tidak munafik, aku suka itu tapi aku tidak ingin menyukainya sebatas apa kelebihannya selain itu, aku betul-betul tidak merasakan apa-apa padanya. Aku hanya ingin jadi temannya!”
“Ditambah lagi dia angkuh, aku nggak suka orang kayak gitu hehehe!” Rena terkekeh sendiri dengan kalimatnya.
“Honestly, plis!” pintaku padanya.
“I don’t need a boyfriend, but a real friend who leads my family later in my religion and my life.” Ada keseriusan menaungi tatapannya.
 “If I can be…” lirihku.
***
            Dua minggu menjelang final test, perpustakaan dalam tubuh kampus ungu ini jadi ramai, mahasiswa pasti sedang sibuk cari referensi untuk tugas-tugas akhir sebelum final sama denganku yang sedang terpojok di sudut tersepi ruangan ini. Bukan untuk mengerjakan tugas aku hanya sedang menunggu Ryan. Tadi pagi dia menelponku ada yang ingin dia tanyakan. Pasti soal Rena lagi. Anak itu masih belum menyerah padahal baru kemarin ia ditolak, Rena menceritakannya padaku. Hanya saja aku sudah cukup lama menunggunya namun dia tak tampak juga. Sebuah pesan singkat membuyarkan lamunanku.
“Har, aku di depan perpus. Bisa keluar?
            Tanpa pikir panjang, aku menyambar ransel di loker penitipan bergegas menemui Ryan. Dari jendela perpustakaan aku bisa melihatnya, dia pun sedang melihat ke arahku. Wajahnya tanpa ekspresi.
“Aku sungguh-sungguh menyukainya, Har!” Keluh Ryan membuka percakapan.
“Meskipun dia hanya melirikku, aku sangat bahagia.”
“Ryan, boleh aku tahu alasanmu menyukainya?”
“Aku menyukainya, Har. Jujur, aku tak tahu kenapa, namun setiap berada di dekatnya, aku melihat ketulusan seperti mengalir dari tatapannya”
“Ya ampun! Ternyata kaupun bisa romantis!” Kucoba untuk membuatnya tersenyum.
“Plis, Har. Aku serius.”
“Ryan, kamu temanku dan Rena sahabatku, aku tentu senang jika kalian bisa bersama karena aku tahu kalian itu cocok hanya saja Rena sudah mengatakan alasannya kan?”
“Dia butuh seorang imam bukan seorang pacar! Aku tak menganggap itu berlebihan karena wajar jika Rena memilih yang seperti itu.”
“Lalu, kenapa kau tak jadi imamnya saja?”
“Har, mana bisa aku jadi imam? Pengetahuan agamaku standar, imanku naik turun dan untuk jadi seorang imam itu nggak gampang, tanggung jawabnya berat!”
“Ryan….Ryan…jadi selama ini kamu pikir imam yang seperti ‘itu’ yang Rena maksud?”
“Loh, dia sendiri yang mengatakannya.”
“Yang dia maksud itu seorang suami!!! Dia nggak berniat pacaran langsung nikah begitu!”
“Suami?”Ryan melongo
“Iya, suami!”
“Yang itu aku sanggup!”
“Kalo begitu lamar dia, kalo ngga’ ya diambil orang!” Jawabku sambil berlalu karena aku yakin dia pasti masih akan mengejarku.
“Tapi kamu yakin dia bakal nerima aku? Kan belum kerja, kuliah saja baru semester lima…”jawab Ryan lemas.
“Soal itu tanya langsung padanya. Ryan, aku sangat mengenalnya, dia memang cukup istimewa tapi plis kalo memang kalian nantinya bisa bersama jangan sakiti dia, karena dia sahabat yang aku sayang…Eits, jangan curiga dulu semuanya tulus kok.” Kuucapkan kalimat itu dengan sungguh-sungguh. Kutatap Ryan percaya.
“Apa sebagai sahabatnya kau tidak pernah punya perasaan yang lebih istimewa padanya?” selidik Ryan.
“Persahabatan kami lebih baik dari cinta itu sendiri”. Oups, kalimat itu terlontar begitu saja.
“Artinya kamu memang menyukainya!” Ryan menyimpulkan.
“Ryan, plis…aku lebih menjagokan kamu untuk dekat dengannya. Aku hanya tak mau merusak persahabatan kami, aku tak ingin Rena menjauhiku, itu saja.” Jawabku tegas.
“Kamu yakin, Har?” Tanya lagi.
Aku hanya menatap lantai koridor kampus yang kami lalui tanpa menjawab pertanyaan Ryan.
“Bagaimana jika ia pun menyukaimu?” Aku menghentikan langkah mendengar pertanyaan tersebut. Sekilas ada rasa senang mendengar kemungkinan itu, tapi…
“Tidak mungkin dia hanya menganggapku sahabat…” Jawabku lirih.
“Lalu bagaimana jika memang itu kenyataannya, Har?”
Tiba-tiba sebuah suara yang sangat aku kenal mengejutkan kami, Rena!
Maka, aku tak bisa menjawab lidahku kelu seketika sedang Ryan berlalu dengan pasti, kecewa.
***





Jumat, 22 Juli 2011

MASIH,..


Kutatap amplop putih berisi surat kontrak kerja dengan yayasan tempatku sekarang bekerja. Tempatku menghabiskan beberapa bagian usiaku sebagai seorang pengajar.  Satu tahun telah berlalu, selama itu pula aku meninggalkan kampung halaman di pedalaman pulau Celebes. Dan surat dalam genggamanku sekarang ini adalah surat keputusan jabatanku selanjutnya di yayasan tersebut.
          “Barakallah untuk amanah baru anda sebagai pegawai tetap di yayasan ini.”
          Kalimat itu pula sebagai penanda bahwa aku telah memutuskan batasku sendiri dengan segala kerinduan yang kupendam untuk segala hal tentang tempatku berasal.  Tentang rumah mungil di tepi pantai di tepi teluk Mandar, tentang orang tuaku yang tak ada hentinya mengirim do’a nya, tentang teman-temanku, dan tentang…sahabatku.
          Oh, rasanya kelu mengucapkan satu kata itu. Masih bisakah hubungan ini kusebut persahabatan? Jika rinduku yang mulai bermakna lain selalu menemani. Menghias tiap detikku yang mulai terasa sepinya. Rinduku yang dalam dan bingung sebab segala penolakanku untuk mengakui perasaanku sesungguhnya setelah jarak menjauhkan kami. Sanggupkah nanti aku menemuinya sebagai seseorang yang telah menodai arti persahabatan kami selama ini yang begitu bersahaja?
          Tiap kali mengingat kenyataan itu aku hanya bisa menghela nafas dalam dan menghembus pasrah. Kenyataan yang akhirnya membuat hubungan kami mulai terasa kaku. Tak ada lagi telpon sore hari yang datang darinya tiap jam di kantorku menunjukkan angka empat sore. Jam pulang kerjaku. Tak ada lagi pesan singkatnya yang berisi puisi-puisi lucu yang ia kirimkan tiap kali aku mengadu akan keruwetan dunia kerjaku. Semuanya mulai berubah. Bahkan untuk menanyakan kabarnya melalui pesan singkat pun aku tak sanggup. Rasa malu selalu mencegahku untuk melakukan itu meski dalam hati rindu menggebu.
          Persahabatan kami kala itu sungguh tulus. Masih teringat jelas bagaimana kami menghabiskan waktu bersama di masa-masa kuliah yang cemerlang. Dia lelaki jenius sekaligus sosok pemalu di kelas. Lelaki yang hanya tahu tersipu malu tiap kali teman-teman lain di kelas kami menggodanya. Namun dalam waktu yang bersamaan berubah menjadi sosok yang begitu dikagumi karena kepintarannya. Dan aku sendiri? Sosok cewek tomboy dengan segala kecerewetanku yang selalu memenuhi waktu-waktu diamnya. Kusebut demikian, karena ia terkadang menjelma seperti patung tanpa suara sama sekali. Jika begitu, aku dengan senang hati bahkan sangat terlalu mengganggunya dengan segala curhatku yang sangat kekanakkan-kanakan di depannya.
          “Twiiiiiins, antara kepercayaan, harapan dan cinta mana yang terbaik?” tanyaku.
          “Hm?”
          “Jawab dong!”
          Pintaku setengah memaksa.
          “Hm…cinta.”
          “Salah!”
          “Lalu?”
          “Persahabatan.”
          “Huh?”
          “Iya, persahabatan. Karena di sana kepercayaan, harapan dan cinta bersatu. Jika kita memiliki sahabat tentu kita mempercayainya dan punya banyak harapan karena ia akan mendukung dan menemani kita di saat yang sulit dan senang.”
          “ Lalu cintanya?”
          “Aku nggak tahu. Soalnya di film itu nggak dibahas soal cinta.” Jawabku sambil garuk-garuk kepala yang tidak gatal.
          “Kalimat dari film ya?”
          Aku mengangguk dengan cepat dan ia hanya tersenyum.
          “Jika sudah tahu ceritakan padaku.”
          Itulah percakapan terakhir kami sesaat sebelum berpisah. Hingga waktu berlalu begitu cepat aku masih tidak tahu jawabannya.
         

Sebelum Sesal


“Ra, aku menunggu undangan pernikahanmu. Kapan?”
Ini kalimat yang kau tanyakan padaku kala itu. Aku hanya bisa menunduk dalam mendengarnya. Adakah kau tahu, aku merana mendengarnya. Tidakkah kau tahu aku hanya ingin denganmu?
          “Bagaimana denganmu?” tanyaku hanya sekedar tuk menutupi gemuruh hati yang dibuat karenamu.
          “Bagaimana mungkin aku akan menikah mahar belum ada” jawabmu.
          Ah, itukah alasannya, Le? Mahar tinggi?
          “Mungkin besok menikah dengan orang Jawa saja” lirihmu dengan senyum. Namun hatiku basah.
          Kenapa tidak denganku saja?, kalimat itu pun hanya menari di benakku. Tak terucapkan, tak tersampaikan.
***
          “Usiamu sekarang seharusnya sudah pantas untuk menikah, Ra.”
          Aku hanya diam. Kali ini dari sekian kalinya aku kembali mendengar nasehat itu, nasehat yang sama dengan kemarin dan hari-hari sebelumnya.
          “Tidak baik anak gadis menolak terus lamaran yang datang padanya.”
          Aku kembali tertunduk semakin dalam dan senyap.
          “Irwan lelaki yang baik, PNS, soleh pula, apa lagi yang membuatmu tak menyukainya?”
          Pertanyaan yang sama untuk nama-nama yang berbeda. Aku hanya ingin berlalu dari majelis ini dengan segala kalimat yang kupendam dalam-dalam di benakku.
          Tahukah, Abah? Tahukah, Ummi? Mereka yang kalian sebutkan itu hanya menyukaiku karena predikatku saja selama ini. Aku, Haura Khairunnisa, anak pengusaha terpandang, muslimah cerdas, jilbab rapat, ketua organisasi ini itu. Mereka menyukaiku karena itu saja. Hanya itu! Dan aku tak ingin hidup dengan mereka, bagaimana jika kesemua predikat itu tak ada padaku? Apakah mereka akan melirikku?
Apakah mereka akan berbondong-bondong mendatangiku? Tidak abah, tidak ummi, tidak sama sekali.
          Jika memang mereka berniat menikah untuk ibadah, tentu mereka akan lebih memilih ukhti Diah, yang ghirah dakwahnya lebih kuat dariku meski bukan dari kalangan atas, atau ukhti Husna yang merelakan keinginannya untuk kuliah demi adik-adiknya. Bekerja siang malam sebagai tulang punggung keluarga?
          Abah, ummi..aku melihat pernikahan adalah jalan jihad untukku. Bukan dari mahar yang tinggi, pesta yang mewah, menantu yang sempurna. Bukan itu yang kuinginkan.
          Aku ingin seperti bunda Khadijah, yang menawarkan dirinya pada Rasulullah,
          Aku hanya ingin seperti Ummu Sulaim yang menerima keislaman suaminya sebagai mahar.
          Aku hanya ingin menjadi wanita yang mulia dengan mahar yang dimudahkan, dengan lelaki yang hatiku pilih karena jiwanya yang mulia, bukan hanya sekedar dari penampilan. Lelaki bersahaja yang telah lama bersemayam di hatiku.
***
          “Ra, penempatanku di pulau terpencil. Tak ada sinyal di sana, tak ada listrik.”
          Tatapku hanya bisa terarah pada ujung sepatumu tak berani memandang lebih, air mataku mulai menggenang.
“Kita akan semakin jauh.”
Suara parauku pun hanya terdengar lirih padahal aku ingin mengungkapkan lebih banyak lagi. Semoga kau mengucapkan kalimat lain, harapku diam-diam.
“Jaga diri baik-baik ya, Ra.” Pesanmu singkat.
Hanya itukah, Le? Tidak adakah pesan untukku selain itu? Ataukah janji bahwa kau akan segera kembali? Atau mungkin kau meminta aku menunggumu?
Hatiku mulai gerimis kembali. Sampai kita mengucapkan salam perpisahan sore itu, kau tak mengatakan apa-apa lagi. 
Le, aku ingin ikut denganmu! Teriakku dalam benak.
***
          “Terima kasih telah menerimaku sebagai imammu. Kelak aku akan berusaha menjadi suami dan ayah yang baik untuk anak-anak kita.” Kuucapkan lagi kalimat itu untuk kesekian kalinya pada wanita di depanku ini. Sayang, ia tetap tak bergeming.
          Tiga hari sudah aku menikahinya, namun selama itu pula ia tak menunjukkan senyum padaku. Sedihkah ia atau menyesalkah ia menikah denganku?
          Mata beningnya selalu digenagi airmata. Diam lalu menangis ingin kuhapus dukanya namun entah bagaimana caranya. Selangkah saja aku mendekat, ia akan berlalu dari hadapku berjalan gontai ke dalam kamar dan melanjutkan tangisnya di sana.
          Allahu rabbi, aku tak berniat mendzaliminya. Wanita yang sangat kucintai itu. Di genggamannya ada buku agenda berwarna hitam. Apakah semua isi hatinya ada disana? ingin sekali kuraih dan kubaca agar aku tahu bagaimana menyembuhkan lukamu...
***
          "Assalamua'laikum, De' Haura. Ini kak Alim, ingatkan?"
Semoga Allah selalu melindungimu di sana. kakak hanya ingin menyampaikan kabar, tentang adikku Ale. 
          Alhamdulillah, Ale telah menyelesaikan amanahnya sebagai seorang hamba dari Allah. Insha Allah ia pergi dengan syahid. Bukankah itu cita-cita kalian dahulu? Allah menjawabnya dengan cara yang indah.
          Jangan sedih, ya. Ia menitip pesan untukmu. Jadilah bidadari. kakak pun tak mengerti maksudnya, hanya ia tersenyum ketika mengucapkan itu. 
***
        






Selasa, 12 April 2011

Sebelum kunyatakan ikrar


CEPEDE
by Laila Syifaa' on Monday, 21 March 2011 at 15:41
Aku hanya bisa tertunduk dalam tiap kali kami berpapasan baik di dalam rumah maupun di tempat kerja. Aku masih belum membiasakan diri menganggap Erwin sebagai adik iparku sekarang. Walau bagaimana pun, ia pernah jadi orang istimewa di hari-hariku.
Kak Zilmi sebenarnya tahu hubunganku dengan Erwin, tapi ia sendiri tak bisa menolak permintaan abahnya. Perjodohan yang tak pernah kami hendaki itu akhirnya terjadi juga menyisAkan luka untukku dan Erwin. Namun, aku telah pasrah, tuhan tahu yang terbaik untuk hambaNya. jika di jalan ini kami tak dipertemukan itu artinya masing-masing kami harus ikhlas dan dengan keyakinan penuh pada sang Pemilik jiwa kukatakan pada Erwin, bahwa cinta memang tak harus bersAma, itu alasan kliseku.
sehari menjelang acara akad, di tengah malam yang sunyi aku panjatkan kembali asaku yang terasa lirIh...Robb, anugerahi aku cinta pada orang yang akan kunikahi kelak karena rIdhoMu adalah jalanku dan kucukupkan rasaKu pada hambaMu bernama Erwin itu. Pertemukan ia dengan yang terbaik dari sisiMu untuknya.
sedang di ujung sajadah lainnya, seseorang tersungkur sempurna setelah berpeluh airmata dalam  dzikir-dzikir penenaNg jiwanya yang hancur...
Robb, tak kusembunyikan lukaku, aku hancur namun airmatanya ketika meminta izin padaku telah membasuh luka itu dengan sendirinya. Ia telah berusaha keras menyampingkan perasaannya padaku demi menggapai cintaMu maka kumohon Robb anugerahi ia cinta yang sesungguhnya cinta dariMu.

Selasa, 01 Februari 2011

Long Dress Lovers

"aduh, telat lagi pagi ini!"
   Gara-gara asrama yang mulai sumpek dengan penghuni yang semakin bertambah dan aku adalah salah satu penghuni pendatang, penyesuain sih gampang tapi nunggu antrian mandi mulai subuh wah.. sudah harus ada yang harus mengalah hanya keperluan inilah-itulah, nyelah dulu, mau mojok nih...wiih, harus ekstra sabar. Puncaknya kamar mandi yang g kepake bagian depan aku bersihkan sendiri dengan begitu tak ada lagi istilah nyelah-nyelah buatku, kamar mandi yang telah kubersihkan seharian itu akhirnya bisa difungsikan, aku tak perlu ngantri lagi, menyetrika pun lebih gampang.
   tapi pagi ini persoalan beda, seragam kerja belum diantar laundry

Selasa, 11 Januari 2011

Love So Twilight

Tidak ada yang tahu, kapan persisnya Reno mencintai Ais. Mereka berteman sejak tahu bahwa tanggal lahir mereka sama yang hanya beda di tahun, Reno lebih tua satu tahun dari Ais. Tahun pertama mereka kuliah di salah satu perguruan tinggi negeri di kota Daeng. Tak hanya itu, Reno dan Ais bahkan selalu ditempatkan dalam satu kelompok belajar di kelas. Reno yang pendiam menyadari perhatiannya yang berlebihan terhadap gadis yang selalu ceria itu. Dia sendiri tidak tahu mengapa tangannya begitu lincah menuliskan bait-bait puisi untuk gadis itu. Meski hanya sekedar melihat ia tersenyum, Reno sudah sangat senang. Setiap kali Ais terlihat murung maka ia akan segera mendatanginya walau sekedar bertanya “ada apa?” karena setelah itu, Ais akan bercerita panjang lebar. Itu semua sudah membuat Reno bahagia.  Reno tiada henti-hentinya selalu jadi yang terbaik untuk gadis itu. Bahkan ketika Ais mulai jatuh cinta, ia tak pernah berusaha menghalangi atau menampakkan rasa cemburunya, dia akan menjadi pendengar setia akan kisah-kisah ‘merah jambu’ Ais yang betul-betul masih kekanak-kanakan.
Namun hingga sampai tahun ketiga mereka kuliah, Ais seolah tidak pernah sadar akan semua perhatian Reno padanya. Seolah semua perhatian itu atas dasar persahabatan saja. Dan setiap kali ia menerima puisi-puisi indah Reno, seromantis apapun kata-katanya, Ais hanya bisa menunjukkan rasa senangnya yang teramat sangat kekanak-kanakan. Ais tidak akan segan melompat kegirangan di depan Reno. Mungkin karena Reno begitu kalem, Ais tidak tahu betapa jatuh cintanya sahabatnya itu padanya. Betul-betul cinta pada gadis yang begitu tomboy dalam balutan jilbab lebarnya itu. “Reno, kau masih tak menyampaikan perasaanmu padanya?” Jabir ketua tingkat mereka sekaligus teman sekostan Reno yang lamban laun bisa membaca perhatian Reno pada Ais, selalu mendorong Reno untuk menyampaikan perasaannya saja. “Antara laki-laki dan perempuan tidak ada persahabatan yang abadi atau berakhiran dengan ketidak jujuran rasa.” Jabir bahkan sudah sering mengingatkan itu pada Reno. “tapi saat ini dia sedang dikhitbah seorang ikhwa yang ilmunya jauh dariku dan sangat pantas untuk mendampingi Ais.”Jabir tak bisa menjawab apa-apa lagi. Ia sempat pula berpikir untuk mengatakan yang sebenarnya pada Ais tentang Reno. Namun Reno memintanya untuk tidak melakukan itu. “aku takut ketika ia tahu perasaanku justru ia akan menjauhiku, dan aku sungguh tak ingin kehilangan sahabat sepertinya.” “kau sungguh mencintainya, Reno!””dalam hati aku sudah berjanji akan menjaganya dengan amanah andai suatu saat ia jadi milikku seutuhnya bukan sebagai sahabat lagi.”
“Kau tahu, Reno aku juga menyukainya tapi jika yang akhirnya mendapatkan ia adalah dirimu, sungguh aku tak menyesal untuk mundur, aku percaya kamu bisa menjaganya dengan baik. Gadis sepertinya akan membuatmu bahagia. Aku perhatikan tiap kali bersamamu ada binar indah di matanya. Mungkin ia pun mencintaimu, hanya saja tidak menyadarinya karena persahabatan kalian itu.”
“Aku juga heran dengan Ais. Tak satupun pinangan yang datang padanya ia terima.”
“dari mana kamu tahu tentang pinangan-pinangan itu, Jabir?”
“Karena sebagian yang mendatanginya itu adalah ikhwa-ikhwa yang kukenal di kajian-kajian yang kumasuki. Wajar saja, Ais dipuja. Dimata ikhwan-ikhwan itu, Ais adalah muslimah berkarakter, meski dengan jilbab lebar ia tetap bersosialisasi dengan siapapun, tidak sok jual mahal seperti akhwat kebanyakan. Meski ada juga yang tidak menyukai prinsip Ais, tapi kenyataannya, banyak yang memujanya dibanding yang benci bahkan don juan kelas tetangga setengah mati mengincarnya. Apa kau mau dia akhirnya jatuh pada lelaki seperti itu?”
“Aku bersyukur sudah jadi sahabatnya, dia memilihku jadi sahabat terdekatnya pun aku sudah senang!”
“Kau pengecut, Reno! Kau akan tersiksa dengan perasaanmu itu.”
Mungkin…
“Ren, kamu ikut study tur ini?” dengan muka manyun duduk agak menjauh dari Reno. Meski bersahabat, Ais tetap menjaga jarak wajar jika sedang bersama dan Reno mengerti itu. “Kau begitu menjaga prinsipmu, Ais.” Pujian itu hanya menari-nari di benak Reno. Ia tak pernah punya cukup keberanian untuk menyampaikan semua itu pada Ais. “Iya, mau diapalagi meski agendanya belum jelas, kita tetap harus ikut. Selain itu, study tour ini adalah pengganti final test untuk melulusi mata kuliah children ini, Ais ikutkan?” Ais hanya mengangguk dengan tatapan enggan ke arah mahasiswa-mahasiswa lain yang justru senang mengikuti study tour ke Tana Toraja itu. Di kepalanya penuh dengan pertanyaan tentang hubungan mata kuliah Children dengan perjalanan mereka yang sangat tidak ada korelasi baginya itu. Akhirnya selama 2 hari 3 malam itu mereka dan mahasiswa lain yang mengambil mata kuliah yang focus mengajarkan bahasa Inggris pada anak usia dini itu pun menjelajahi tanah yang mayoritas penduduknya beragama Kristen itu, situs-situs pemakaman jaman  purbakala kebanggaan masyarakat Tator yang mendominasi kunjungan mereka membuat Ais semakin menyesali keikutsertaannya. Hanya pemandangan alam dan kabut dingin yang menyelimuti kota itu yang bisa membangkitkan senyum Ais. Hingga malam terakhir  sebelum mereka kembali ke Makassar, Ais berniat sholat di sebuah mesjid yang tak jauh dari penginapan mereka, Ia tidak tahu bahwa sejak hari pertama tiba di tempat itu Reno sudah mendatangi masjid yang hanya satu-satunya di jantung Makale, salah satu kota pusat tanah toraja itu.
Ketika Ais ,berjalan sendiri ia melihat Reno sedang duduk memandangi jalan raya yang mulai sepi di senja menjelang maghrib itu. Selama study tur itu Ais dan Reno jarang bersama karena ada pembagian kelompok dan baru kali itu mereka tidak di tempatkan di satu kelompok yang sama. “Reno, kenapa melamun sendirian di situ?ke mesjid yuk, sebentar lagi maghrib.” Reno tanpa di komando pun langsung mengikuti langkah Ais menuju masjid itu.
Di depannya, Ais masih duduk bersimpuh entah apa yang Ais minta do’anya begitu panjang, mungkin ia sangat bersyukur bisa sholat di di tengah-tengah kaum minoritas di kota itu. Reno menunggu Ais di balkon masjid tersebut, ia pun merasakan ketenangan yang sangat susah ia deskripsikan. Ia menatap Ais yang semakin tertunduk itu, perlahan terangkailah sebuah syair dalam benak Reno
Bidadari…
Kau ada dihadapku
Bersimpuh di depan kekasihmu itu
Sayap indahmu mulai terkembang
Bawa aku terbang,
Jadikan aku penunjuk jalanmu
Percaya padaku
Aku takkan menyesatkanmu
            “Ren, balik yuk!” Reno tak bergeming. “Reeeennnn, kok melamun sih.” Sambil melambaikan tangannya di wajah Reno.
“Oh,Eh,iya bidadari!” Reno salah tingkah dan latah.”Bidadari?mana?” Ais melongok ke kanan dan kiri dan tak menemukan siapa pun di sekitar mereka, hanya ada beberapa jama’ah lelaki yang bersiap pulang di depan masjid tersebut. Menyadari kekonyolannya itu, Reno tersipu malu dan Ais hanya terkekeh. “Bidadari itu adalah dirimu Ais.” Kalimat itu pun hanya jadi sebuah rangkaian kata yang tak pernah tersampaikan. Mereka melangkah pergi  sesaat kemudian bis yang mereka tumpangi itu bersiap meninggalkan tanah toraja.
“Ini tulisan siapa, Ais?”  Emma sahabat sekaligus teman sekamar Ais mengacungkan beberapa lembar kertas dengan tulisan tangan di sana dan beberapa lembar hasil print di meja belajar mereka yang sengaja di satukan.
“Itu pemberian Reno” jawab Ais singkat, ia sedang mencuci peralatan makan mereka. Hari itu memang giliran Ais untuk membersihkan kamar yang menyatu dengan kamar mandi. Jadi untuk keperluan cuci dan mandi mereka tak perlu keluar kamar lagi.  
“Dia mencintaimu, Ais…” Emma mengucapkan kalimat itu dengan lirih tapi masih tertangkap dengan jelas oleh Ais, gelas yang sedang dicucinyapun terlepas dari tangannya. Untung gelas plastic jadi tak pecah.
“Dia hanya menganggapku sahabat.” Emma menatap Ais.”Mengapa kata-katamu terdengar sedih?” Ais hanya menggelengkan kepala. “kau juga mencintainya,Ais?” airmata justru mengalir di pipinya. “Kenyataannya, dia tak pernah mengatakan apapun padaku. Bahkan ketika ia tahu ada yang mengkhitbahku, ia tak menunjukkan sikap cemburu justru mendorongku untuk menerimanya.” Tapi pinangan itu, kau sudah tolakkan?. Ais mengangguk. Apa karena dia?””aku bingung, Ma. Tiap kali ada yang mendekatiku aku akan selalu membandingkannya dengan Reno, apa mereka bisa membuatku nyaman sama ketika aku bersama Reno. Bersama Reno tak pernah sedikit terlintas dipikiranku ia akan berpikir macam-macam padaku, ia juga tidak pernah menatapku dari tatapan sewajarnya, dan hanya ketulusan yang aku lihat di matanya. Bahkan tiap kami pulang dari kampus ia tidak akan sengaja berdiri di sampingku, aku tahu ia menjaga pandangan orang tentangku.” “itu cinta Ais. Apa kau sadar?” Airmata Ais semakin membanjir. “Reno tak mengatakan apapun.””Aku menunggunya untuk mengatakan semua perasaannya tapi di sisi lain aku khawatir dengan persahabatan kami, aku tidak mau kehilangan dia sebagai sahabatku. Aku bisa merelakan perasaanku tapi kehilangan dia sebagai sahabatku, rasanya akan jauh menyakitkan.” Ais tak sanggup lagi membendung airmatanya, Emma hanya bisa memeluknya.”Terkadang cinta tidak harus diungkapkan dengan kata-kata,Ais. Tapi aku mengerti kau tak ingin dianggap berlebihan mengartikan semua perhatiannya. Kamu harus yakin jika kalian tulus mencintai satu saat ada jalan untuk kalian. Kalaupun ternyata kalian pada akhirnya tak bisa bersama artinya masih ada yang terbaik untuk kalian.” Kalimat terakhir Emma menyisakan perih di hati Ais, aku hanya bisa pasrahkan padaNya. Satu do’a terlantun di hati Ais, Robb, jika dengan Reno yang terbaik maka dekatkanlah, namun bila bukan jauhkan dan gantilah dengan yang lebih baik.” “Amin” Ais terkejut mendengar pengaminan Emma”aku tahu do’a yang selalu kau panjatkan itu.”tiap kali kau menutup mata dengan kepala yang begitu khusyuk tertunduk, itu ciri khasmu ketika akan berdo’a seperti itu kan?” Ais tersipu sambil mengusap sisa airmatanya. Tuhan tidak tuli koq, aku juga..hehe..” aarrgghh, jangan menggodaku terus.”Akhirnya Ais tersenyum. “gitu dong, ini baru Ais. Pangeran Reno tentu takkan mau melihatmu menitikkan airmata.” Ais melempar bantal ke arah Emma sambil ngacir keluar kamar dan ia masih sempat membalas Emma. “Dia sahabatku!” Sungguh keras kepala,pikir Emma.
Dan waktu berlalu tanpa henti, menerbangkan semua kisah yang terjadi pada manusia, kisah yang tak mungkin kembali lagi. Waktu mengantarkan Ais dan Reno menyelesaikan studynya tepat waktu.  Ais pun memutuskan ke Kalimantan, ke tempat kakak sulungnya,  Kakak sulungnya itu berharap ia akan menemaninya, apalagi system pendidikan di sana juga bagus, Ais yang sangat mencintai dunia pendidikan pun tertarik. Tapi belakangan ia melewati hari-harinya dengan linangan airmata, ia akan meninggalkan orang tuanya, teman-temannya dan tentunya Reno.
“Kamu jadi ke Kalimantan?” Ais hanya mengangguk. Jauh dilubuk hatinya ia berharap Reno akan menyatakan perasaannya sebelum ia pergi. Tapi sampai ia berdiri di pintu bandara, Reno tak mengatakan apapun. Bahkan tak mengantarnya. Mungkin memang Ais hanya sebatas sahabat bagi Reno, mungkin kado dan puisi-puisi yang ia terima tiap kali Ais ulang tahun itu memang tidak ada artinya, Ais menyesal pernah merasa istimewa di hati Reno, waktu itu Ais ,Jabir dan teman sekelas mereka lainnya mengunjungi Reno setelah 2 pekan absen kuliah karena demam berdarah, untuk pertama kalinya video semua kisah persahabatan kelas English Education C diputar, foto yang diambil secara diam-diam oleh Byan, satu teman kelas mereka juga, Jabir yang ahli IT dan Reno yang memang dijagokan menyusun skrip video tersebut. Satu-satu slide foto bermunculan dengan berbagai kata-kata yang membuat orang-orang menonton video tersebut tertawa mengenang persahabatan mereka, namun ketika slide memunculkan foto Ais yang menoleh hanya ada satu kata dibawah foto itu…cinta…. Semua orang menyoraki, Ais terpaku, Reno diam, dan orang tua Reno yang kala itu juga menonton tersenyum. Jabir berdehem menggoda, Ais pun melirik kejam padanya, ia memang tidak suka jadi bahan gojlokan teman-temannya. Ketika mengalihkan pandangannya dari Jabir tak sengaja mata Ais terbentur di tatapan Reno, baru kali itu ia merasa ada yang lain di hatinya, tatapan Reno seolah mengajaknya membaca sesuatu di sana, namun, Ais segera mengalihkan pandangannya, ia malu. Hati Ais kembali berdetak perih semua itu memang indah namun mungkin memang tidak ada artinya bagi Reno. Ais masih sesenggukan di jok penumpang, ia tak ingin memandang ke arah jendela. Sebentar lagi ia akan meninggalkan pulau itu, ia tak ingin membuat hatinya semakin sedih. Reno juga tak mengantarnya, karena selalu ada pikiran tidak mungkin dibenak Ais, Reno tak terlalu berkepentingan untuk mengantarnya. Terlintas dipikiran Ais untuk melupakan Reno melupakan semua kenangan mereka, setelah pesawat ini lepas landas maka selamat tinggal, cinta! Ais nekat dengan niatnya itu. Itu lebih baik. Aku tak ingin menangis lebih banyak lagi. Cukup sudah sampai disini saja. Ais menghapus air matanya, meski sesekali ia masih sesenggukan. Orang lain yang melihatnya dengan mudah akan tahu, jika ia baru saja menangis. Dalam.
“Jangan pergi jika memang ada masalah yang belum terselesaikan” sebuah suara menyapa Ais. Ia cepat-cepat menghapus airmatanya, ia malu. Seorang lelaki dengan topi sporty hijau dan rambut gondrong menghempaskan badannya di jok bersebelahan dengan Ais. “Aku Ridwan” lelaki itu menjulurkan tangannya berniat menjabat tangan Ais. Ais hanya memandang sesaat ke wajah lelaki itu tepat ketika lelaki itu juga sedang menatap ke arahnya. Ais segera mengalihkan pandangannya, menyesal ia tak mau diantar ayahnya, kalau tahu teman duduknya di pesawat itu adalah laki-laki tentu ia sudah minta tukar, Ais tidak suka diajak ngobrol oleh orang asing. “jangan khawatir, aku tidak akan mengusikmu, silahkan lanjutkan jika masih ingin menangis, tapi jangan salahkan aku jika mengulurkan tisu hanya sekedar menghapus airmatamu, aku bukan laki-laki yang tahan melihat seorang perempuan menangis.” Ais kembali terkejut dengan kata-kata lelaki itu. Mata mereka kembali beradu. Pramugari telah mengumumkan agar penumpang memasang shift bel mereka. Pesawat segera lepas landas.
            Tahun-tahun berlalu. Ais telah memiliki dua anak kembar yang lucu-lucu setelah melahirkan anak kembar tersebut ia divonis tak bisa melahirkan lagi karena kista yang bersarang di rahimnya. Sesaat sebelum operasi pengangkatan kista dilakukan suaminya mengalami kecelakaan lalulintas, suaminya, lelaki yang ditemui di pesawat hari itu, tergesa-gesa mengemudikan mobilnya ketika mendapat telepon Ais masuk rumah sakit. Ais memang tak pernah punya cinta yang cukup untuk suaminya itu, namun ia tahu arti Ridwan untuknya. Dari Ridwan pula ia mendapat semangat untuk menulis, Ridwan yang bekerja sebagai kepala penerbitan sebuah majalah, tiap hari membawakan berlembar-lembar copian  puisi-puisi, cerpen dan artikel yang bagus untuknya.  Sampai Ais berhasil jadi penulis yang cukup produktif diberbagai media. Ridwan tak pernah pamrih untuk semua itu. Meskipun Ridwan tahu bahwa cinta Ais masih ada untuk Reno, ia tak pernah mengusiknya bahkan menyinggungnya. Ais tak pernah menyesal hidup dengan Ridwan dan melahirkan anak-anaknya tersebut. Ia bersyukur. Kini ia kembali ke kotanya. Karena tak ada lagi yang membuatnya harus bertahan di Kalimantan. Ais beruntung karna masih sempat menyelesaikan S2. Ia kini menghabiskan waktunya untuk mengajar dan mengisi acara-acara seminar kepenulisan dan pendidikan. Ais tak berniat menikah lagi meski umur masih terbilang muda dan beberapa teman sejawatnya sudah memintanya, ia masih ingin sendiri ataukah ia masih menunggu Reno. Tak ada yang tahu. Ais sudah cukup bisa menata hatinya. Reno yang tahu kepulangan Ais, segera mengunjunginya.
            Kini mereka sedang duduk di beranda rumah Ais, matahari senja sudah menapakkan sinarnya. “Kau tak ada kabar sama sekali Ais.” “Kau yang membuatku begitu.”Reno terhenyak. “Kau tak pernah tahu, dulu aku selalu menunggumu. Tapi hingga aku pergi kau tak mengatakan apa-apa, dalam hati aku menyangka aku memang bukan siapa-siapa di hatimu. Dibandara hari itu pun kau tak datang, sejak itu aku telah menghapusmu.Untuk apalagi harus menunggu. Kukira 4 tahun cukup menguras rinduku, bahkan cinta pada suamiku yang selalu kurasa tak pernah cukup karena masih terus memikirkanmu.” Reno semakin terkejut. Ais dulu selalu lembut padanya dan sangat kekanakk-kanakan tapi kalimatnya barusan tegas dan langsung ke pokok permasalahan. Ais memang sudah sangat berubah, apakah pengalaman hidup telah menempanya sedemikian rupa? Reno ingin menceritakan segalanya pada Ais tentang perasaannya dan alasannya yang tak membuat ia menikah sampai saat itu. “menikahlah denganku, Ais.” justru kalimat itu yang meluncur dari mulutnya. Sekarang justru Ais yang terkejut, Ais menatap tajam pada Reno. Kalimat itu yang dulu ia tunggu dari Reno tapi mengapa baru sekarang ia ucapkan. Saat semuanya sudah terlambat, menikah pun tak ada gunanya lagi, Ais tak bisa memberikan keturunan pada Reno. Dan Ais tak cukup percaya pada Reno bisa menerima apa adanya dia sekarang dan kedua anak kembarnya. Ia tak ingin anak-anaknya tak mendapat cukup cinta. Reno menatap Ais yang terdiam,”aku berjanji jadi ayah yang baik untuk Shilla dan Syifa jika itu yang kau takutkan.” Ais menatap Reno cukup lama lalu bangkit melangkah kearah anak-anaknya yang sedang bermain, Ais meraih Shilla dan Syifa ke dalam pelukannya. “Kami sudah cukup bahagia hidup bertiga,””tak perlu memulai sesuatu yang sudah terlambat, Ren” Maka, adzan maghrib menemani Ais yang menggandeng kedua anaknya masuk ke dalam dan menutup pintu rumah dan pintu hatinya untuk Reno.
Nurlaila Syifa Marhuseng, 11012011

Senin, 27 Desember 2010

SEJAUH AKU BISA BERLARI

Sejauh aku bisa berlari……….
Agustus, 2009
            Gedung Ammanagappa yang telah ramai didatangi keluarga yang akan akan menyaksikan anak, kemenakan, kakak, adik, om, tante dan sanak keluarga yang akan diwisuda hari ini. Di sudut gedung ini aku tersudut menyaksikan ceremony, aku pun diwisuda hari, ibu dan kakak-kakakku pun rela datang jauh-jauh dari Mamuju untuk merayakannya. Seharusnya bahagia karena ini adalah hari penentu bahwa aku akan melepaskan statusku jadi mahasiswa namun di setiap sisi hati terasa perih, dan sepi. kutatap kembali satu persatu peserta wisuda seakan mata ini selalu dibimbing untuk mencari sosoknya, sosok yang selalu membuatku merasakan satu feel yang beda jika berada dekat dengannya feel yang tiba-tiba menyeruak di setiap ulu nadiku ketika kurasakan keberadaannya di sekitarku.
Blitz. Aku kaget setengah mati tiba-tiba sebuah kilatan kamera menyambar mukaku. Aku langsung menutup mata, terasa perih. Aini memegang tanganku suaranya terdengar cemas karena aku tiba-tiba menutupi wajahku. Kukatakan tidak apa-apa tapi kurasakan dia menyematkan selembar tisu di tanganku yang masih menutupi wajahku. Saat mataku terbuka pandanganku tidak segera normal seperti ada sebuah benda hitam menutupi pupil mataku. Kucoba untuk mengedip-ngedipkannya ternyata berhasil. Alhamdulillah nggak apa-apa, gumamku dalam hati.  
“Maaf, aku hanya ingin mengambil gambarmu saat menoleh tadi, aku lupa mematikan blitznya.” Sebuah suara menyapaku. Aku menengok suara yang berasal dari samping itu.  
“Rehan!Kapan kamu di sini? Bukannya tadi kamu duduk di sana?” sambil menunjuk bangku yang ternyata sudah diisi Aini yang tadi duduk di sampingku.
“Aku langsung minta tukar waktu kamu menutup mata tadi, sorry ya?”
“Permisi dulu dong sebelum take!” jawabku dengan cemberut.
“Pose menoleh tadi bagus sayang kalo’ dilewatkan!”
“Udah ah, malas berdebat sama kamu!”
“Jangan malas dulu dong, bosan nih dengar ceramah melulu. By the way, habis wisudaan rencananya mau ngapain?” Tanya Rehan.
“kerja, menikah, punya anak, dan menjadi tua after that masuk ke liang lahat!” jawabku sewot, pertanyaan itu sudah dia tanyakannya delapan kali.
“Sewot amat sih, Non! Kemarin katanya mau ke pulau Borneo, kok sekarang lain lagi?”
“Itu kamu dah tahu jawabannya” kulihat dia akan membantah lagi tapi segera kupotong, “eits, jangan provokasi ya, itu nggak ngaruh!”
“Benar, Ra. Kalimantan nggak seru, kamu ke sana mau lanjut kuliahkan ngapain jauh-jauh ke sana bagusan disini kok! Belum lagi kamu nggak punya teman di sana kamu bakalan kesepian, oh iya semalam juga aku nonton di Kalimantan seriing terjadi kebakaran hutan, asapnya bias masuk ke kota, asmamu bisa cepat kambuh nah kalo kamu sakit siapa yang bakal urusin, duh jangan ya?” kumonyongkan mulutku waktu kuliat muka memelasnya.
“NGGAK NGARUH!!!” kukatakan itu sambil setengah berlari meninggalkan dia.
***
            “Jadi ke Kalimantan?” Pak Charlie bertanya tanpa menatapku. Dia masih asyik memeriksa skripsi yang kuajukan padanya.
            “Insya Allah, Pak.”
            “Disana sama siapa?” tanyanya lagi, masih tak mengalihkan pandangannya dari skripsiku.
            “Kakak sulung saya, Pak. Dia yang memanggilku ke sana.” Jawabku sambil menatap ujung pensil yang ia gunakan untuk memeriksa formulir pascasarjana yang kusodorkan padanya. Sesekali pensil itu bergerak membentuk sebuah garis tak sempurna. Sepertinya beliau mengoreksi beberapa kesalahan disana.
            “Yakin tidak ingin lanjut di bahasa inggris lagi?”pak Charlie melirikku sekali lalu kembali menekuni formulir di tangannya.
            “Tidak,pak”jawabku yakin
            “kenapa?”
            “saya ingin focus di ilmu pendidikan, prinsip dasar bahkan bagaimana mengembangkan kurikulum, dan system pendidikan yang dianut Indonesia.”
            “Kamu begitu yakin dengan pilihan itu, apa yang membuatmu tertarik?”,kedengarannya seperti diinterogasi.